Tampilkan postingan dengan label Pelajaran SMP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pelajaran SMP. Tampilkan semua postingan

Sinopsis Novel Siti Nurbaya-Tugas Bahasa Indonesia SMP

Sinopsis Novel Siti Nurbaya

Sinopsis Novel Siti Nurbaya

Pengarang : Marah Rusli






Penerbit : Balai Pustaka






Tempat Terbit : Jakarta







Tebal : 271 halaman






Pelaku : Siti Nurbaya, Samsulbahri, Datuk Maringgih, Baginda Sulaiman, dan  Sultan Mahmud.

Sinopsis
Seorang penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmudsyah dengan isterinya, Siti Mariam yang berasal dari orang kebanyakan mempunyai seorang anak tunggal laki-laki yang bernama Syamsul Bahri. Rumah Sutan Mahmudsyah dekat dengan rumah seorang saudagar bernama Baginda Sulaeman. Baginda Sulaeman yang mempunyai seorang anak perempuan tunggal bernama Siti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga seperti kakak dengan adik saja.
Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti Nurbaya ke gunung Padang bersama-sama dua orang temannya, yakni Zainularifin, anak seorang jaksa kepala di Padang yang bernama Zainularifin akan melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. Sedang Bahtiar melanjutkan ke Sekolah Opzicther (KWS) di Jakarta pula. Syamsul Bahri pun akan melanjutkan ke Sekolah Dokter tersebut. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke Gunung Padang. Di Gunung Padang itulah Syamsul Bahri menyatakan cintanya kepada Siti Nurbaya dan mendapat balasan. Sejak itulah mereka itu mengadakan perjanjian akan sehidup semati.

Pada suatu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Sekolahnya menjadi satu dengan Zainularifin.
Di Padang ada seorang orang kaya bernama Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatnya dengan cara tidak halal. Untuk itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga, Pendekar empat, dan Pendekar Lima.

Melihat kekayaan Baginda Sulaeman Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua kekayaan Baginda Sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan perantara kaki tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko Baginda Sulaeman, perahu-perahunya yang penuh berisi muatan ditenggelamkannya.

Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan uang pinjaman itu ia masih mempunyai pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Disamping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih semua langganan yang telah berhutang kepada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya. Dengan demikian, tiba-tiba Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak dapat membayar hutangnya yang sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya masih ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah.Karena Baginda Sulaeman tak dapat membayar utangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaeman, kecuali jika Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti Nurbaya tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan penjara, maka secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk Maringgih walaupun sebenarnya hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan oleh Siti Nurbaya kepada Syamsul Bahri di Jakarta.

Setelah setahun di Jakarta, menjelang bulan puasa, pulanglah Syamsul Bahri ke Padang. Setelah menjumpai orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari Ibunya bahwa Baginda Sulaeman sakit. Sesampainya ke tempat yang dituju, dijumpainya Baginda Sulaeman sedang terbaring karena sakit. Tak lama setelah kedatangan Syamsul Bahri itu, datanglah Siti Nurbaya karena ayahnya mengharapkan kedatangan. Maka berjumpalah Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya. Beberapa hari kemudian, bertemu pula Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya, pertemuan itu terjadi pada malam hari.
Kedua asyik masyuk itu tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta kaki tangannya. Karena tak tahan mereka itu menahan rindunya maka merekapun berciuman. Pada waktu itulah Datuk Maringgih mendapatkan mereka dan terjadilah percekcokan, karena mendengar kata-kata yang pedas dari Syamsul Bahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkatnya sekeras-kerasnya kepada Syamsul Bahri. Tetapi karena Syamsul Bahri menghindarkan dirinya diambil menyeret Siti Nurbaya, maka pukulan datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya. Akibatnya tersungkurlah Datuk Maringgih. Dengan segera Syamsul Bahri menendangnya, dan karena kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan Datuk Maringgih itulah maka pada saat itu juga keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris.
Melihat Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Siti Nurbaya sehingga teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang sakit itu, karena disangkanya Siti Nurbaya mendapat kecelakaan maka bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke tempat anaknya itu. Tetapi karena kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh, sehingga seketika itu juga Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di Gunung Padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Syamsul Bahri, menghindarlah Syamsul Bahri ke samping. Dan pada saat itu juga ia berhasil menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di tangannya terlepas. Sementara itu datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Siti Nurbaya tadi. Melihat mereka datang, larilah Pendekar Lima menyelinap ke tempat yang gelap.
Di para tetangga yang datang itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengar penjelasan Datuk Maringgih tentang soal anaknya itu, maka Syamsul Bahri oleh Sutan Mahmud Syah tanpa dipikirkan masak-masak lebih dulu lagi. Pada malam hari itu juga secara diam-diam pergilah Syamsul Bahri ke Teluk Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada pagi harinya ributlah Siti Mariam mencari anaknya. Setelah gagal mencarinya di sana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah Siti Maryam ke rumah saudaranya di Padangpanjang. Di sana karena rasa kepedihannya itu, ia menjadi sakit-sakit saja.
Sejak kematian ayahnya, Siti Nurbaya menujukan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia berani mengusir Datuk Maringgih dan tak mau mengakui suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia berusaha hendak membunuh Siti Nurbaya.
Setelah peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu Siti Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya yang bernama Alimah. Di rumah itulah Siti Nurbaya mendapat petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Siti Nurbaya dinasihati oleh Alimah agar pergi saja ke Jakarta, berkumpul dengan Syamsul Bahri. Penunjuk dan nasihat Alimah sepenuhnya diterima oleh Siti Nurbaya dan diputuskannya, akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sultan Mahmud Syah sejak pengusiaran diri atas Syamsul Bahri tersebut. Kepada Syamsul Bahri pun ia memberitahukan kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Siti Nurbaya, karena percakapannya dengan Alimah tersebut dapat didengar oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Siti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka mengetahui bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Siti Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi sekat Kapten kapal maka berkatalah Pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Siti Nurbaya ke Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi pula.
Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut akibat ombak yang sangat besar, pergilah Pendekar Lima mencari tempat Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati Siti Nurbaya, iapun segera menyeret Siti Nurbaya hendak membuangnya ke laut. Melihat kejadian itu Pak Ali membelanya, tetapi iapun mendapat pukulan Pendekar Lima dan tak mampu melawannya karena Pendekar Lima jauh lebih kuat daripadanya. Siti Nurbaya pun berteriak sekuat-kuatnya sampai ia jatuh pingsan. Teriaknya itu terdengar oleh orang-orang yang ada dalam kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketehuan akan perbuatannya itu, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya. Siti Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar untuk dirawatnya.
Akhirnya kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Bahri sudah gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah Syamsul Bahri ke kapal dan mencari Siti Nurbaya. Alangkah terkejutnya tatkala ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali tentang peristiwa yang terjadi atas diri Siti Nurbaya itu. Dengan diantar Kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Syamsul Bahri ke kamar Siti Nurbaya dirawat. Disitu dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam keadaan payah.
Pada saat itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah berjumpa dengan Kapten kapal dan Syamsul Bahri, diberitahukan kepada mereka itu bahwa kedatangannya mencari Siti Nurbaya itu ialah atas perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Siti Nurbaya telah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan agar orang itu di tahan dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Syamsul Bahri bahwa hal itu tidak lain akal busuk Datuk Maringgih belaka. Ia pun minta kepada Polisi itu agar hal tersebut jangan diberitahukan dahulu kepada Siti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang menghawatirakan itu. Ia meminta kepada yang berwajib agar kekasihnya itu dirawat dulu di Jakarta sampai sembuh sebelun kembali ke Padang. Permintaan Syamsul Bahri itu dikabulkan setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan atas diri Siti Nurbaya. Setelah Siti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya. Kabar itu diterima oleh Siri Nurbayadengan senang hati. Ia bermaksud kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah yang di dakwakan atas dirinya. Setelah permintaan Syamsul Bahri kepada yang berwajib agar perkara kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja tidak dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan, berangkatlah Siti Nurbaya ke Padang dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam pemeriksaan di Padang ternyata bahwa Siti Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan atas dirinya itu. Karena itulah Siti Nurbaya di bebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah
Pada suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli kue yang dijajakan oleh Pendekar Empat, kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk Siti Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah penjaja kue itu pergi, Siti Nurbaya makan kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu terasa oleh Siti Nurbaya kepalanya pening. Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal secara mendadak itu, terkejutlah ibu Syamsul Bahri, yang pada waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Kedua jenajah itu dikebumikan di Gunung Padang disamping makam Baginda Sulaeman.
Kabar kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya itu juga dikawatkan kepada Syamsul Bahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya ia menulis surat kepada guru dan kawan-kawannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta dari berpisah untuk selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Syamsul Bahri sehingga Zainularifin pun tidak mengetehuinya. Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri minta berpisah dengan Zainularifin sengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zainularifin memperkenankannya, tetapi dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia menikuti gerak-gerik sahabatnya itu, karena mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada suatu tempat di kegelapan, Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya dan kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu Zainularifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan Zainularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk Maringgih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada yang berwajib agar berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan setelah itu Syamsul Bahri berhenti sekolah. Karena ia menginginkan mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia dikirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memadamkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di sana. Karena keberaniannya, makan dalam waktu sepuluh tahun saja pangkat Syamsul Bahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugasi memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakkan mengenai masalah balasting (pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke makam ibu dan kekasihnya di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu. Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga menemui ajalnya. Tetapi sebelum meninggal Datuk Maringgih masih sempat membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah di atas timbunan mayat, dan yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya agar dipanggilkan penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena dikatakannya ada masalah yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa Syamsul Bahri masih hidup dan sekarang berada di Padang untuk memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit karena luka-luka yang dideritanya. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa Syamsul Bahri sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta di kebumikan di gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya dan Siti Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Syamsul Bahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dinamakanlah jenazah Letnan Mas atau Syamsul Bahri itu diantara makam Siti Maryam dan Siti Nurbaya seperti yang dimintanya.
Sepeninggal Syamsul Bahri, karena sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan Mahmud Syah beberapa hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam isterinya, yakni Siti Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan berderet, yakni makam Baginda Sulaeman, Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam dan Sutan Mahmud Syah.
Beberapa bulan kemudian berziarahlah Zainularifin dan Baktiar telah lulus dalam ujiannya sehingga masing-masing telah menjadi dokter san opzichter.
Kutipan
“Arifin, aku belum menceritakan penglihatanku tadi malam, kepadamu, bukan?” kata Syamsul Bahri kepada sahabatnya, pada keesokan harinya daripada malam Nurbaya kena racun, kira-kira pukul dua siang, tatkala mereka itu pulang dari rumah tempatnya membayar makan.
“Penglihatan apa, Sam?” tanya Arifin.
“Ajaib benar! Sampai kepada waktu ini belum habis kupikirkan, karena belum juga kuketahui, apa itu dan apa maksudnya?”
“Cobalah ceritakan,” kata Arifin pula.
“Sebagai biasa,” kata Samsu,” pukul sepuluh malam, pergilah aku tidur. Kira-kira pukul dua belas, dengan tiada kuketahui apa sebabnya, tiba-tiba terbangunlah aku dengan terperanjat, seperti apa yang membangunkan. Tatkala kubuka mataku, kelihatan olehku dekat meja tulisku, sesuatu bayang-bayang putih, berdiri di belakang kursiku. Sangatlah terperanjat aku, ketika melihat bayang-bayang itu, sebab pada sangkaku, ia pencuri atau penjahat yang telah masuk ke dalam bilikku,”
“Tetapi kalau pencuri atau penjahat, mengapakah berpakaian putih?” kata Arifin.
“Itulah sebabnya maka terpikir pula olehku, barangkali aku bermimpi; lalu kupijitlah pahaku, beberapa kali. Akan tetapi, tatkala telah nyata benar kepadaku, bahwa aku tiada tidur lagi, barang yang putih itu masih kelihatan juga.”
“Barangkali pemandangan tiada benar,” kata Arifin, yang belum hendak percaya hendak hilang.”
“Oleh sebab itu, kugosoklah mataku beberapa lamanya; tetapi yang putih itu tek hendak hilang.”
“Barangkali engkau takut atau tatkala hendak tidur, banyak mengingat perkara setan dan hantu; jadi segala yang kau lihat, rupanya sebagai setan,” sehut Arifin pula.
“Engkau tahu sendiri, Arifin, aku tiada penakut kepada segala yang demikian. Lagipula, tatkala baru saja kubuka mataku, telah kelihatan bayang-bayang yang putih itu olehku. Betapa orang yang baru bangun tidur akan takut, jika tiada bermimpi yang dahsyat!”
“Bagaimana bentuknya?” tanya Arifin, yang rupanya mulai percaya akan cerita Samsu ini.
“Sebagai manusia, berkepala, berbadan, bertangan, dan berkaki,” sahut Samsu,” serta memakai pakaian sutra putih yang jarang.”
“Sebagai manusia?” tanya Arifin yang mulai merasa takut, walaupun hari pada waktu itu pukul dua siang dan orang penuh di jalan besar, “Hih! Seram buluku mendengar ceritamu.”
“Sesungguhnya,” jawab Samsu. “Melihat hal yang ajaib ini, meskipun berapa beraniku, berdebar juga hatiku dan sejurus lamanya, tidaklah tahu aku, apa yang hendak kuperbuat. Hendak berteriak, malu rasanya. Lagipula suaraku tak hendak keluar, sebagai dicekik orang. Hendak berdiri, badan dan kaki berat rasanya. Dibiarkan saja, takut kalau-kalau dianiaya aku. Walaupun kuberanikan hatiku, badanku serasa kembang dan punggungku sebagai terkena air dingin.”
“Sudah itu?” tanya Arifin, yang makin bertambah-tambah takut.
“Tatkala kuamat-amati benar bayang-bayang yang putih itu, kelihatanlah mukanya seperti muka Nurbaya.”
“Nurbaya?” tanya Arifin dengan heran.
“Ya, tak ada ubahnya; hanya wajah mukanya pucat sedikit. Sebab itu meskipun hatiku masih khawatir, dapatkah juga kuberanikan diriku, akan mengeluarkan perkataanku, lalu bertanya,” Siapa ini?”
“Dan apa jawabnya?” tanya Arifin dengan lekas.
“Tak apa-apa. Ia diam saja dan tidak pula bergerak-bergerak dari tempatnya.”
“Kemudian?” tanya Arifin pula.
“Kemudian melompatlah aku, hendak mengambil pistolku dari dalam lemari dan sudah itu, hendak kudekati dia. Tetapi tatkala itu juga hilanglah bayang-bayang itu; entah kemana perginya tiada kuketahui.”
“Betul berani engkau,” kata Arifin.
“Tatkala itu datanglah takutku dan menolehlah aku ke segenap tempat kalau-kalau dicekiknya aku dari belakang. Tatapi tak kelihatan suatu apa lagi. Lalu kupasanglah lampu dan kuambil pistolku dari dalam lemari. Ketika itu barulah berani aku memaksa aku kesana kemari, ke bawah tempat tidur, ke bawah mwja dan ke belakang lemari, tetapi suatu pun tiada kelihatan, sedang jendela dan pintu pun masih terkunci.”
“Jika aku bertemu yang denikian, tentulah aku menjerit minta tolong, kalau masih dapat, berteriak. Kalau tidak tentulah aku akan kaku di sana juga, karena ketakutan.”
“Setelah kututup lampu itu dengan keras, supaia terangnya jangan kelihatan dari luar dan kutaruh pistolku dibawah bantalku, berbaringlah aku. Tetapi sesudah itu tiadalah aku dapat tidur lagi; pertama karena takut akan didatanginya kembali dalam tidurku, kedua memikirkan penglihatan yang ajaib itu. Apakah itu adalah takdir! Itulah setan atau hantu!”
“Tetapi kalau hantu, mengapakah rupanya serupa dengan Nurbaya? Yang menjadi hantu itu, bukankah kata orang yang sudah mati, kata orang?” jawab Arifin.
“Sesungguhnya, seumur hidupku, baru kali itu aku melihat bayang-bayang yang demikian,” jawab Samsu, yang sekali-kali tiada mengira, bahwa Nurbaya talah mati.”Bukan mimpi tetapi sebenar-benarnya penglihatan itu.”
“Sungguh ajaib penglihatanmu itu. Tetapi kuharap janganlah aku sampai bertemu dengan penglihatan yang serupa itu; takut dapat celaka.”
“Karena tak dapat tidur lagi, terkenanglah aku akan Nurbaya dan Ibuku. Negri dan kampung halamanku kita, serta timbulah hasrat yang amat dalam hatiku, hendak pulang meneui mereka sekalian dan menyesallah aku, tiada dapat pergi mengantarkan Nurbaya pulang ke Padang, baru-baru ini. Belun pernah keinginan hatiku hendak pulang sekeras tadi malam. Dimukaku terbayang pula segala kesukaan dan kesusahan, yang telah kurasai, sejak kita berjalan-jalan ke Gunung Padang. Nakin ku ingat nurbaya, maki kuatir hatiku dan makin terasa pula olehku alpa dan lengahku, melepaskan dia seorang diri, kembali kedalam mulut harimau itu. Terkadang-kadang khawatir hatiku itu menimbulkan perasaan, sebagai benar Nurbaya mendapat celaka.”
“Ah, masakan begitu! Tak berapa lama lagi, tentulah ia di sini. Jika tada, baik kau jemput saja; perkaranya tentulah selesai,” jawab Arifin.
“Maksudku demikian juga. Kalau hari Sabtu yang akan datang ini belum juga sampai kemari, tentulah akan kujemput sendiri ke Padang.”
Dengan bercakap-cakap demikian, tibalah kedua mereka di rumah Sekolah Dokter Jawa, lalu terus menuju bilik masing-masing. Sejurus kemudian daripada itu, datanglahseorang opas pos membawa dua helai surat kawat, untuk Syamsul Bahri. Ditanyakannya kepada Arifin, di mana Syamsul Bahri, lalu ditunjukan oleh Arifin bilik sahabatnya ini.
“Tatkala Arifin, setengah jam setelah itu, pergi ke bilik Samsu, hendak menanyakan surat kawat apakah yang ditarimanya tadi sua dekali, kelihatan olehnya pintu dan jendela bilik itu telah tertutup. Pada sangkanya, Samsu tentulah telah tidur, untuk melepaskan kantuknya, karena kurang tidur semalam. Oleh sebab ia tiada hendak mengganggu sahabatnya itu, ditunggunyalah sampai Samsu bangun kembali.
“Maksud Samsu sebelum menerima kedua surat kawat tadi, sesungguhnya hendak pergi tidur; jendelanya pun telah ditutupnya. Setelah diterimanya surat itu, ditutupnyalah pula pintunya, karena hendak membaca kabar itu seorang diri; lebih-lebih, karena kedua surat kawat itu sangat memberi khawatir hatinya.
“Dari siapakah kabar kawat ini, dan bagaimanakah bunyinya?” katanya dalam hati.” O, barangkali dari Nurbaya, memberitahu ia akan datang kemari.
“Tetapi yang sebuah lagi, dari siapa pula?” Demikianlah pertanyaan yang timbul dalam hatinya.
Sambil berpikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat kawat itu dengan tangan yang gemetar. Setelah dibacanya kedua surat itu, jatuhlah ia pingsan, tiada kabar darinya, sebab kedua surat itulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan ibunya.
Berapa lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah diketahuinya. Ketika ia sadarkan dirinya pula, adalah halnya seperti seorang yang gila, tak dapat berpikir dan berkata-kata. Menangis pun tiada kuasa, sebagai tak berair lagi matanya. Sesudah termenung sejurus lamanya, diambilnya kertas, dan kalam, lalu ditulisnya sepucuk surat kepada ayahnya.

Dikutip dari Novel Siti Nurbaya hal 215 – 217,

Analisis Unsur Intrinsik Novel Siti Nurbaya

1. Tokoh  dan Penokohan
  • Samsul Bahri sebagai pelaku utama (Tokoh Protagonis): anak Sultan Mahmud Syah (penghulu di Padang), wataknya: Orangnya pandai, tingkah lakuya sopan dan santun, halus budibahasanya, dapat dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
  • Siti Nurbaya sebagai pelaku utama (Tokoh Protagonis): anak Bginda Sulaeman (saudagar kaya di Padang), wataknya: Lemah lembut, penyayang, tutur bahasanya halus, sopan dan santun, baik hati, setia kawan, patuh terhadap orang tua.
  • Datuk Maringgih sebagai pelaku utama (Tokoh Antagonis), laki-laki yang berwatak kikir, picik, penghasud, kejam, sombong, bengis, mata keranjang, penipu, dan selalu memaksakan kehendaknya sendiri.
  • Sultan Mahmud Syah sebagai pelaku tambahan (Toloh Protagonis), Ayahnya Samsul Bahri yang berwatak: Bijaksana, sopan, ramah, adil, penyayang.
  • Siti Maryam sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), berwatak: Bijaksana, sopan, ramah, adil, penyayang.
  • Baiginda Sulaeman sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), berwatak: Bijaksana,sopan, ramah, adil, penyayang.
  • Zainularifin sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), temannya Samsul Bahri yang berwatak: Tingkah lakunya sopan dan santun, halus budi bahasanya, dapat dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
  • Bakhtiar sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), temannya Samsul Bahri yang berwatak: Tingkahlakunya sopan dan santun, halus budibahasanya, dapat dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
  • Alimah sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), saudaranya Siti Nurbaya, yang bewatak lemah lembut, santun setiakawan, bijaksana.
  • Pak Ali sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis).
  • Pendekar Tiga sebagai pelaku tambahan (Tokoh Antagonis)
  • Pendekar Empat sebagai pelaku tambahan (Tokoh Antagonis)
  • Penekar Lima sebagai pelaku tambahan (Tokoh Antagonis)
  • Dokter sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis)

2. Tema
Novel “ Siti Nurbaya” ini bertemakan sosial, moral, dan egois. Tema yang terkandung dalam novel ini yaitu; “Satu percintaan antara dua remaja yang tidak dapat berakhir dengan pernikahan karena penghianatan seseorang yang hanya mementingkan kekayaan dunia dan hawa nafsu.

3. Amanat
Amanat yang terkandung dalan novel “Siti Nurbaya” yaitu diantaranya adalah sebagai berikut :
  • Kita hendaknya jangan terlalu di kuasai oleh perasan dengan tidak mempergunakan pikiran yang sehat karena akan berakibat hilangnya keperibadian yang ada pada diri kita.
  • Jika hendak memutuskan sesuatu hendaklah pikirkan masak-masak lebih dulu agar kelak tidak menyesal.
  • Siapa yang berbuat jahat tentu akan mendapat balasan kelak sebagai akibat dari perbuatan itu.

4. Latar atau Seting
Latar atau Seting ini terdiri atas dua bagian yaitu : latar waktu dan latar tempat. Latar tempat dalam novel “Siti Nirbaya” diantaranya: di sekolah, di kota Padang,di kota Jakarta, di Kebun Kelapa, di rumah, di halaman rumah, di kantor pos. Latar waktu: sekitar tahun 1920-an.

5. Plot/Alur
Dari segi penysunan peristiwa atau bagian-bagian yang membentuk, cerita dari novel “Siti Nurbaya” menggunakan plot kronologis atau progresif, yang lebih dikenal dengan Alur Maju. Jadi cerita novel “Siti Nurbaya” ini ceritanya benar-benar dimulai dari eksposisi, komplikasi, klimaks, dan berakhir dengan pemecahan masalah. Pengarang menyajikan ceritanya secara terurut atau secara alamiah. Artinya urutan waktu yang urut dari peristiwa A,B,C,D dan seterusnya.

6. Sudut Pandang
Sudut pandang yag digunakan oleh pengarang movel “Siti Nurbaya” ini yaitu sudut pandang diaan-mahatahu. Pengarang berada di luar cerita hanya menjadi seorang pengamat yang maha tahu dan bahkan mampu berdialog langsung dengan pembaca.

7.  Gaya Penulisan
Gaya penulisan yang di gunakan masih menggunakan gaya bahasa dan sastra lama yang menggunakan ejaan tempo dulu, sehingga mengharuskan adanya pemahaman yang lebih dalam agar makna dalam novel tersebut dapat dipahami.


source : google.com


Pelajaran Bahasa Indonesia Kalimat Majemuk

Kalimat Majemuk

Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat-kalimat yang mengandung dua pola kalimat atau lebih. Kalimat majemuk adalah kalimat yang terjadi dari gabungan dua kalimat tunggal atau lebih.
Karena kalimat majemuk merupakan gabungan dua kalimat tunggal atau lebih, maka dalam penggabungannya kalimat majemuk menggunakan kata gabung atau. Kata gabung dalam kalimat majemuk anatara lain : dan, sedangkan, walaupun, meskipun, atau, ketika, setelah, sebelum, sejak, saat, jika dan lain-lain.

JENIS KALIMAT MAJEMUK
1. Kalimat majemuk setara.
2. Kalimat majemuk bertingkat
3. Kalimat majemuk rapatan.
4. Kalimat majemuk campuran.

I. Kalimat Majemuk Setara

Kalimat majemuk setara adalah gabungan dua kalimat tunggal yang setara (sederajat) kedudukannya/ tidak ada yang lebih tinggi atau yang lebih rendah/ tidak ada induk kalimat dan tidak ada anak kalimat.
Kalimat majemuk setara dibagi manjadi 3 macam :
1) Kalimat majemuk setara menggabungkan. (menggunakan kata gabung: dan, sedangkan)
2) Kalimat majemuk setara pertentangan (menggunakan kata gabung : tetapi, meskipun, walaupun)
3) Kalimat majemuk setara pilihan. (menggunakan kata gabung : atau)


Contoh kalimat majemuk setara menggabungkan :
a. Ayah pergi ke kantor. (kalimat tunggal)
b. Saya pergi ke sekolah. (kalimat tunggal)
c. Ayah pergi ke kantor dan saya ke sekolah. (kalimat majemuk)

Contoh kalimat majemuk setara pertentangan

a. Ali anak yang pandai.(kalimat tunggal)
b. Ali anak yang malas belajar. (kalimat tunggal)
c. Ali anak yang pandai tetapi malas belajar. (kalimat majemuk)

Contoh kalimat majemuk setara pilihan.

a. Saya membeli kue donat.
b. Saya membeli pisang goreng.
c. Saya membeli kue donat atau pisang goreng.

II. Kalimat Majemuk Bertingkat
Kalimat majemuk bertingkat adalah gabungan dua kalimat tunggal dimana ada bagian yang lebih tinggi kedudukannya yang disebut sebagai induk kalimat, dan ada bagian yang lebih rendah kedudukannya yang disebut sebagai anak kalimat.

Induk kalimat adalah bagian yang diterangkan.
Anak kalimat adalah bagian yang menerangkan/sebagai keterangan.
Jenis anak kalimat :
a) Anak kalimat sebagai keterangan waktu
b) Anak kalimat sebagai keterangan sebab
c) Anak kalimat sebagai keterangan syarat
d) Anak kalimat sebagai keterangan akibat
e) Anak kalimat sebagai keterangan
Contoh:Ayah menulis surat, adik berdiri di sampingnya


Kalimat Tunggal Bahasa Indonesia SMP SMA

Kalimat Tunggal

Sudah lama meninggalkan bangku sekolah dan tiba - tiba ada yang meminta dicarikan Kalimat Tunggal. Setelah berputar - putar mencari contoh Kalimat tunggal, akhirnya saya dapatkan juga artikelnya dari berbagai sumber.
Berikut ini Free Just 4 U membagikannya kembali Pengertian dan contoh Kalimat Tunggal bagi yang sedang mencarinya
Semoga bermanfaat.
Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa. Satu klausa tersebut ditandai oleh satu pola S (Subjek) dan satu P (Predikat). Adapun O (Objek), Pel (Pelengkap), dan K (Keterangan) keberadaannya bisa ada atau tidak ada.
Berdasarkan keberadaan P-nya, kalimat dapat digolongkan menjadi beberapa macam, yaitu :
A. Kalimat Nominal,
B. Kalimat Verbal,
C. Kalimat Ajektival,
D. Kalimat Numeral,
E. Kalimat Preposisional,
F. Kalimat Masdar.

A. Kalimat Nominal
Kalimat Nominal adalah kalimat yang P-nya berupa kata benda.
Misalnya :
a. Ayahnya sopir di kampungnya.    
        S           P            K
b. Ibunya guru di SMA 16.
       S         P          K
c. Kakaknya pedagang asongan.
          S                   P
d. Adiknya pemain bola.
         S              P

Kata-kata : sopir, guru, pedagang asongan, dan pemain bola adalah kata benda. Kalimat-kalimat tersebut sudah memenuhi syarat sebagai kalimat baku karena minimal sudah memiliki SP. Kalimat-kalimat di atas sering disisipi ‘adalah atau ialah’ sebagai kopula untuk memperjelas kedudukannya sebagai P untuk kata sesudahnya.

B. Kalimat Verbal
Kalimat Verbal adalah kalimat yang P-nya berupa kata kerja. Kalimat verbal dapat digolongkan lagi menjadi 4 macam, yaitu :
a. Kalimat Taktransitif
Kalimat ini hanya berpola SP, tanpa diikuti unsur O, maupun Pel, namun bisa ditambahkan K.
Contoh :
(1) Ia tidur di kantin.
      S   P        K
(2) Mereka pergi ke Makasar.
          S         P         K
(3) Anisa menangis kemarin.
          S        P            K
(4) Imam makan.
         S        P

b. Kalimat Ekatransitif
Kalimat ini berpola SPO, tanpa diikuti Pel, namun bisa ditambahkan K
Contoh :
(1) Romy menarik paku dari ban motornya.
         S         P         O            K
(2) Erwin memotong kabel listrik kemarin.
         S          P                 O           K
(3) Joni menangisi kepergian adiknya.
        S         P                 O
(4) Mereka menulis surat protes kepada panita.
           S         P             O                 K

c. Kalimat Dwitransitif   
Kalimat ini berpola SPOPel, namun bisa ditambahkan K
Contoh :
(1) Ayah membelikan adik baju baru kemarin.
        S          P             O         Pel        K
(2) Dia menjuluki pacarnya “Kucing Garong”.
        S        P            O               Pel
(3) Mereka mengijinkan kami buka suara.
          S             P             O       Pel
(4) Kami menyatakan hal itu salah alamat.
         S           P              O         Pel

d. Kalimat Semitransitif
Kalimat ini berpola SPPel, tanpa O, boleh ditambahkan K.
Contoh :      
(1) Anak itu bermain bola.
            S           P      Pel
(2) Mereka berjualan koran di perempatan jalan.
          S           P           Pel           K
(3) Kakek kejatuhan kelapa di kebun.
          S          P           Pel      K
(4) Keputusan itu berdasarkan musyawarah.
               S               P                   Pel
(5) Hal itu merupakan konsekwensi kita.
          S         P                   Pel
(6) Sekarang ia menjadi bupati.
            K      S     P         Pel

C. Kalimat Ajektival
Kalimat ajektival adalah kalimat yang P-nya berupa kata sifat.
Contoh :
(1) Adiknya cantik.
           S         P
(2) Guru itu sangat ramah.
          S             P    
(3) Rumahnya megah sekali.
             S             P
(4) Kakaknya sombong.
             S            P

Kata-kata : cantik, sangat ramah, megah sekali, dan sombong adalah kata sifat. Kalimat-kalimat tersebut juga sudah memenuhi syarat sebagai kalimat baku karena minimal sudah memiliki SP.

D. Kalimat Numeral                       
Kalimat Numeral adalah kalimat yang P-nya berupa kata bilangan.
Misalnya :
(1) Mobilnya dua.
           S         P
(2) Yang hadir enam belas orang.
             S                 P
(3) Kerbaunya tujuh ekor.
             S             P
(4) Temannya tiga puluh anak per kelas.
            S                     P

Kata-kata : dua, enam belas orang, tujuh ekor, dan tiga puluh anak per kelas adalah kata bilangan. Karena itulah kalimat-kalimat tersebut dinamakan kalimat numeralia.

E. Kalimat Preposisional
Kalimat Preposisional adalah kalimat yang P-nya berupa kata depan.
Contoh :
(1) Ayahnya dari Jakarta.
           S             P
(2) Ibunya di SMA 16.
           S           P
(3) Kakaknya ke stasiun kota.
             S              P
(4) Adiknya di lapangan bola.
           S              P

Kata-kata : dari Jakarta, di SMA 16, ke stasiun kota, dan di lapangan bola adalah kata-kata yang berkata depan atau berpreposisi.

F. Kalimat Masdar
Pola kalimat sederhana bahasa Indonesia asli S-nya berupa kata benda, sementara P-nya boleh berupa kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, maupun kata depan.
Namun demikian, dalam perkembangannya bahasa Indonesia tidak dapat menghindari pengaruh bahasa asing, khususnya bahasa Inggris termasuk pula dalam ragam kalimatnya.
Dalam bahasa Inggris dikenal gerund, yaitu kalimat yang subjeknya kata kerja.
Contoh :
(1) Fishing is my hobby.
           S             P
(2) Writing is very difficult for me.
            S             P
Berdasarkan hal tersebut, dalam bahasa Indonesia dikenal kalimat masdar, yaitu kalimat yang S-nya berupa kata kerja yang dianggap benda.(1) Memancing adalah hobi saya.
            S                    P
(2) Menulis memang sulit.
          S             P
(3) Menonton bola mengasyikkan.
            S                         P
(4) Berlari melelahkan.          
           S          P    

Kata-kata : memancing, menulis, menonton bola, dan berlari adalah kata-kata kerja yang dianggap sebagai kata benda yaitu aktivitasnya.


Contoh Teks Pidato Perpisahan Sekolah Kelas 9 SMP Bahasa Jawa

Contoh Teks Pidato Perpisahan Sekolah Kelas 9 SMP Bahasa Jawa
Contoh Teks Pidato Perpisahan Sekolah Kelas 9 SMP Bahasa Jawa
Assalamu'alaikum wr. Wb
Ingkang kinurmatan Bapak Kepala Sekolah ugi Bapak - Ibu Guru ingkang satuhu luhuring budi lan rencang - rencang kelas 9 ingkang kula tresnani.

Monggo kito sedaya ngaturaken puji syukur dhumateng Gusti ingkang maha Agung ingkang sampun maringaken sedoyo nikmat lan kewarasan dateng kito sedoyo dumugi sakmeniko kito sedaya saged kempal wonten ing adicara perpisahan sak manika. Kula, wakil saking rencang - rencang kelas 9 ngaturaken maturnuwun ingkang sak ageng-agengipun kagem Bapak / Ibu Guru ingkang sampun mbulawantah kulo lan sak konco-konco dateng pawiyatan menika ingkang dangunipun tigang warsa.

Mboten keraos kawulo lan rencang sebrayat sampun ngelampahi ngangsu kawruh wonten ing pawiyatan mriki. Wonten ing adicara menika, kulo kiyambak tuhu rencang - rencang nyuwun agenging pangapunten sangking Bapak / Ibu guru amargi wonten ing tigang warso ngangsu kawruh wonten pawiyatan mriki kulo lan sak rencang mebo menawi gadhah kalepatan ingkang dipun sengojo lan mboten disengojo. Mugi - mugi Bapak / Ibu guru kerso ngapuntenaken sedoyo kelepatan kulo lan rencang - rencang.

Satuhunipun kulo lan sak konco awrat sanget badhe nilaraken pawiyatan menika amargi sedoyo ingkang wonten dateng mriko sampun kados sederek lan kaluargo. Namung amargi kulo lan rencang - rencang kedah nglanjutaken ngangsu kawruh wonten ing pawiyatan ingkang luwih inggil, kulo lan rencang - rencang kedah saget dening ikhlas nilaraken pawiyatan menika.

Kadosipun sampun cekap anggenipun kulo matur. Bilih menawi wonten kalepatan kulo nyuwun agenging pangapunten.

Wasslamu'alaikum wr. wb


Asal Usul Kota Surabaya

Asal Usul Kota Surabaya

ASAL USUL KOTA SURABAYA
Tulisan tertua yang menyebut nama Surabaya adalah Prasasti Trowulan I, berangka tahun Saka 1280 atau 1358 Masehi, yang mencantumkan sederet nama-nama tempat penambangan penting sepanjang Sungai Brantas, antara lain tertulis: “ … i trung, i kambangan çri, i tda, i gsang, i bukul, i çūrabhaya, muwah prakāraning naditira pradeça sthananing anāmbangi i madantĕn …”, yang artinya: “ … (di) Terung, Kambangan Sri (= Kebangsari sekarang?), Teda, Gesang, Surabaya, demikian pula halnya desa-desa tepian sungai tempat penyebarangan (seperti) Madanten …”.

“Nāgarakrtāgama”, yang ditulis oleh Empu Prapanca di abad XV, juga menyebut-nyebut nama Surabaya dalam rangkaian kalimat berikut: “ … yan ring janggala lot sabhā nrpati ring surabhaya manulus mare buwun”. Artinya: “ … kalau di Jenggala Baginda selalu singgah di Surabaya, (lalu) meneruskan ke Buwun.”

Ternyata asal-usul nama “Surabaya” memancing banyak ragam tafsiran. Ada yang menganggapnya sebagai suatu tonggak peringatan terjadinya sesuatu peristiwa sejarah yang penting. Tetapi ada juga yang menghubungkannya dengan sebuah fabel (dongeng binatang), yang mengisahkan pertarungan antara seekor ikan “sura” dan seekor “buaya”. Dari kata-kata “sura” dan “buaya” (dalam bahasa Jawa, “baya”) terbentuklah nama “Surabaya”.

Tentang fabel itu sendiri terdapat pula perbedaan pendapat. Ada yang menganggapnya tidak lebih daripada sebuah dongengan belaka, yang lahir dari khayalan seorang pendongeng. Tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai cerita kiasan, yang melambangkan sesuatu peristiwa sejarah, yang lain lagi menganggapnya sebagai sebuah mitos alam.

Dengan contoh-contoh itu saja sudah Nampak betapa simpang siurnya masalah asal-usul nama Surabaya. Belum lagi adanya beberapa versi cerita yang berbeda-beda. Namun justru karena perbedaan-perbedaan itu malahan menarik sekali bagi seorang peneliti yang ingin mengkaji latar belakang sejarah terjadinya Kota Surabaya.

Heyting, misalnya, dalam“Oudheidkundig Verslag 1923”, telah memaparkan pendapatnya, bahwa Surabaya berasal dari suatu peristiwa pemberontakan seorang kelana bernama Bhaya terhadap Kerajaan Singasari di bawah pemerintahan Kertanagara. Peristiwa itu tercatat dalam “Nāgarakrtāgama”, “Pararaton”, dan “Kidung Panji Wiajayakrama”. Meskipun ketiga bacaan tersebut berbeda-beda menyebutkan nama pemberontaknya, yaitu: “Nāgarakrtāgama” menyebut cayaraja, “Pararaton”, kalana aran bhaya, dan “Panji Wiajayakrama” bhayangkara, tetapi tentang waktu terjadinya pemberontakan itu boleh dikatakan tidak terdapat selisih yang jauh, dan pasti sebelum pengiriman ekspedisi Pamalayu oleh Krtnagara di tahun 1275.

Tentang nama cayaraja yang disebut oleh “Nāgarakrtāgama”, oleh Heyting dibaca: bhayaraja, dengan alasan, bahwa dalam tulisan Jawa Kuno, aksara ca dan bha hampir serupa. Dengan demikian Heyting menemukan nama-nama yang serupa: bhaya (raja), (kalana) bhaya, dan bhaya (angkara), dan menyimpulkan bahwa ketiga-tiganya identik. Arti kalana adalah raksasa, atau yang juga disebut asura. Adalah menjadi kelaziman raja-raja Jawa-Hindu menyebut lawan mereka dengan sebutan kalana, raksasa, atau asura. Alhasil, kalana aran bhaya adalah pula kalana bhaya atau asura bhaya. Dalam pada itu kalana sering pula digunakan sebagai nama raja. Sebagai contoh dikemukakan oleh Heyting, seorang raja Kamboja yang dalam “Serat Kandha” dinamakan Kalana Mahesa Sasi. Dalam akhir kesimpulannya Heyting menulis sebagai berikut:

Bagaimanapun juga, baik Bhaya yang dibinasakan oleh Krtanagara maupun Kalana Bhaya (Asura Bhaya), menggambarkan nama Surabaya dalam hubungannya dengan “kalana” atau “raja” Bhaya. Sebelum zaman Bhaya, nama Surabhaya belum dikenal, yaitu sebelum kira-kira tahun Saka 1192 (atau 1270 Masehi).
 
Dalam bukunya “Er werd een stad geboren” (1953), Von Faber mengambil alih pendapat Heyting tersebut, tetapi dihubungkannya dengan dongeng ikan sura dan buaya yang tersebut di muka, dan memperoleh kesimpulan, bahwa buaya merupakan sebuah simbolisasi dari Bhaya, sedang prajurit Krtanagara yang gagah berani yang melawan Bhaya tersebut dinamakan sura dalam arti berani. Itulah sebabnya, maka Surabaya sering disebut pula sura-ing-baya (berani dalam bahaya, Belanda dapper in gevaar). Jadi menurut Von Faber, kata sura bukan berasal dari asura (sinonim kata kalana) seperti pendapat Heyting, melainkan sura dalam arti berani, dalam hal ini yang dimaksud sifat keberanian prajurit Krtanagara yang melawan Bhaya.

Tetapi semboyan sura-ing-baya mendapat tafsiran lain dari seorang Belanda bernama C.V., termuat dalam “Bataviaasch Handelsblad” sekitar tahun 1880, jadi jauh lebih tua daripada pendapat Heyting dan Von Faber, demikian:
Selama perang melawan Surapati, bekas seorang budak berasal dari Bali, bernama si Untung, yang telah berhasil menjadi raja yang berdaulat di Jawa Timur, bertahun-tahun dapat mempertahankan kedaulatannya terhadap Kumpeni (VOC) dan Kerajaan Mataram, pihak Kumpeni telah mendirikan sebuah benteng pertahanan di daerah tempat Kali Mas dan Kali Pegirian bertemu, untuk menangkis serangan-serangan gerombolan Surapati (Untung) tersebut, yang dapat digagalkan
Hasil gemilang terhadap musuh yang menakutkan itu, menimbulkan gagasan untuk menamakan benteng tersebut, sura ing baya, yang berarti berani menghadapi bahaya, berasal dari kata syura (pahlawan) dan bhaya (menakutkan atau bahaya).

Betapa tidak logisnya tafsiran C.V. tersebut dapat dikemukan di sini, bahwa jauh sebelum Untung Surapati atau Kumpeni lahir, Surabaya sudah ada lebih dulu atas dasar Prasasti Trowulan I dan “Nāgarakrtāgama” (abad XIV). Surapati hidup akhir abad XVII awal XVIII (gugur tahun 1705).

Juga karena anakronisme, tidak logis tafsiran J. Hageman yang menyatakan, bahwa tempat yang sekarang bernama Surabaya itu, pada zaman Hindu bernama Ngampel Dhenta, dan oleh raja Jawa-Hindu terakhir dihadiahkan kepada seorang pemuka Islam bernama Raden Rahmat (Susuhunan Ngampel). Penyerahan ini disaksikan oleh pejabat-pejabat Jawa yang beragama Islam, dan dari sinilah kemudian dicetuskan rencana untuk memerangi dan merebut Majapahit. Setelah kerajaan Jawa-Hindu yang besar itu runtuh (tahun 1483), maka berkumpullah orang-orang Islam yang menang itu di Ngampel Dhenta. Karena nama ini membawa noda yang berbau Hinduisme, demikian Hageman, maka nama itu lalu diubah menjadi “Surabaya”, atau “Negara Surabaya” (tempat bagi yang jaya). Adapun dongeng tentang ikan dan buaya itu sendiri, Hageman menganggapnya omong kosong belaka. Senada dengan pernyataan Hageman terakhir tersebut adalah pendapat Ki Sugerman Atmodihardjo, yang menganggap dongeng tentang pertarungan ikan sura dan buaya sebagai suatu hal yang mengandung pengertian statis, tidak berpengaruh terhadap pendidikan kepratiotikan bangsa yang revolusioner, bahkan sebaliknya mematikan semangat kepahlawanan arek-arek Surabaya terutama. Lain halnya kalau Surabaya diartikan “berani mengatasi kesulitan” (Jawa, “wani ing kewuh”).

Profesor Dr. P.J. Veth pun beranggapan demikian. “Dalam bahasa Jawa”, demikian tulisnya, “kota ini mempunyai beberapa nama sinonim: Surabaya, Surapringga, Surabanggi, Surawesthi. Kata sura yang berulang kali tampil dalam nama-nama sinonim tersebut, rupanya mengungkapkan pengertian kepahlawanan atau keberanian, sedang kata-katabaya, pringga, banggi, dan westhi mempunyai arti bahaya atau kesulitan”.

Veth menulis pendapatnya itu dalam sanggahannya terhadap anggapan geolog Belanda yang menyatakan, bahwa nama Surabaya itu berasal dari nama Portugis: sura bahia, yang berarti pelabuhan yang aman. “Kalau demikian seharusnya disebut segura bayia”, tukas Prof. Veth. Dari kumpulan pendapat di atas, dapat kita lihat, bahwa semua menghubungkan istilah “Surabaya” dengan pengertian “keberanian” dan “bahaya”, lepas dari tafsiran masing-masing akan motivasinya, kecuali Heyting. Heyting dalam mengargumentasikan sura berasal dari asura (kalana, raksasa), memang tidak dapat kita terima. Sebab, pertama sura dan asura merupakan dua pengertian yang berlawanan, jadi tidak identik. Kedua, ejaan asli (Jawa Kuna) untuk Surabaya adalah Çūrabhaya, sehingga konsekuensinya, untuk asura (kalana, raksasa) Heyting harus mengejanya açūra, tetapi ini ejaan yang salah.

Jadi jelaslah, bahwa secara etimologis nama “Surabaya” atau tepatnya “Çūrabhaya” mengandung atau mengungkapkan pengertian “keberanian” atau “kepahlawanan”, dan “bahaya”. Masalahnya sekarang ialah kapan waktunya, dan apa motivasinya, maka nama yang mengandung pengertian “keberanian atau kepahlawanan” dan “bahaya” tersebut digunakan.
Menarik dalam hal ini keputusan Pemerintah Kotamadya Surabaya, yang telah menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Kota Surabaya. Penetapan tanggal tersebut mengambil dasar teori Heru Sukadri selaku anggota Tim Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya, yaitu mengambil hari bersejarah ketika Raden Wijaya berhasil mengusir balatentara Tartar, utusan Kaisar Mongolia Kubilai Khan, dari bumi Jawa melalui kota pelabuhan samudera Hujunggaluh. Sebagai “jayacihna” (tanda kemenangan), maka Hujunggaluh itu pun dengan resmi diubah menjadi Surabaya (atau nama aslinya dieja Çūrabhaya) oleh Raden Wijaya yang sementara itu menjadi raja pertama Majapahit dan pendiri dinasti baru: Bra Wijaya. Namun, tanpa sedikit pun mengurangi aspirasi kepahlawanan bangsa dan moyang kita di masa silam, penetapan hari jadi 31 Mei 1293 bagi Kota Surabaya bukan tidak mengandung kelemahan-kelemahan, karena kurangnya data-data yang mendukungnya. Penetapan itu atas dasar hipotesa yang masih harus diuji lagi keotentikannya.

Perihal kepahlawanan Wijaya bersama pengikut-pengikutnya itu sendiri, untuk mengusir musuh-musuh balatentara asing dari Jawa, dengan menunjuk lokasi tempat-tempat atau daerah-daerah yang menjadi kancah perjuangannya di Surabaya sekarang dan sekitarnya, yang ditimbanya dari sumber-sumber otentik seperti prasasti Butak, prasasti Pananggungan, kronik Cina, Nāgarakrtāgama, Pararaton, Kidung Harsawijaya, Kidung Panji Wijayakrama, dan lain-lain, kiranya sudah tidak perlu diragukan lagi. Tetapi bahwa setelah kemenangan Wijaya pada tahun 1293, tepatnya pada tanggal 31 Mei, dengan terusirnya balatentara Tartar dari bumi Jawa melalui Hujunggaluh, lalu kota pelabuhan tua yang termasyhur itu mulai saat itu dengan resmi diubah menjadi Çūrabhaya oleh Wijaya sebagai “jayacihna”, inilah yang masih perlu diuji keotentikannya.

Kelemahan hipotesa 31 Mei 1293 sebagai hari jadi kota Surabaya terutama ialah, bahwa andaikata nama Çūrabhaya sudah diresmikan pada tanggal, bulan, dan tahun tersebut, (tentunya menurut perhitungan penanggalan Saka yang berlaku waktu itu), maka sebutan Çūrabhaya sejak saat itu akan sudah dikenal merata oleh masyarakat umum, dan pastilah menjadi sebutan sehari-hari. Adalah janggal sekali, bahwa literature-literatur sejaman atau sesudahnya, yang mengisahkan kehidupan raja Wijaya atau peristiwa-peristiwa yang langsung menyangkut nama Baginda seperti Kidung Harsawijaya, Panji Wijayakrama, Kidung Ranggalawe, Kidung Sorandaka, dan Pararaton tidak pernah menuturkannya. Padahal, sebagaimana kita ketahui, literature-literatur semacam itu ditulis demi kepentingan raja (raja-sentris), sedang tempat yang sekarang kita sebut Çūrabhaya itu sangat erat kaitannya dengan kejayaan perjuangan Wijaya, dan yang niscaya akan menambah keharuman dan kebesaran nama baginda. Tetapi dengan tidak disebutkan Çūrabhaya, Surabhaya, atau pun Surabaya dalam literatur-literatur tersebut di atas, juga tidak dalam kronik Cina atau pun inskripsi-inskripsi sekitar tahun 1293 atau sekitar masa kehidupan Raden Wijaya sebagai raja, maka saya cendrung beranggapan, bahwa Surabaya (atau Çūrabhaya) pada sekitar masa-masa tersebut memang belum ada. Baru di abad XIV untuk pertama kali ia disebut-sebut dalam prasasti Trowulan (1358 Masehi) dengan ejaan Çūrabhaya, “Nāgarakrtāgama” (pupuh 17:5) dengan ejaan Surabhaya, dan di abad XV dalam kronik Cina “Ying-yai Sheng-lan” (1416 Masehi).

Secara sepintas dapat kita rumuskan kembali berbagai pendapat dan teori tersebut, sebagai berikut:
- Teori Heyting (Bhayaraja – Singasari, 1270);
- Teori Von Faber (idem dikaitkan dengan dongeng ikan sura dan buaya);
- Teori C.V. (Surapati – Kumpeni, 1705);
- Teori Hageman (Ampel Dhenta, 1483);
- Teori Heru Sukadri (Wijaya – Tartar, 31 Mei 1293, yang diterima dan diresmikan oleh Pemerintah Daerah Kotamadya Surabaya sebagai hari jadi Surabaya).
Karangan ini yang bermaksud untuk menguak “Mitos Çūrabhaya”, ingin mengemukakan teori yang lain pula dengan menitikberatkan kepada segi pandangan mitologis. Untuk menelaah mitos Çūrabhaya ini lebih jauh dan mendalam, semula ada dua pendapat yang menarik hati:
Pertama, pendapat Ki Sugerman Atmodihardjo yang dimuat dalam majalah “Penelitian Sedjarah” tahun 1961 nomor ….. tentang asal-usul kota Surabaya, bahwa penelitian asa-usul nama kota (di Indonesia tentunya) hendaknya berpangkal pada falsafah sastra dan bahasa, seirama dengan kebudayaan Indonesia.

Kedua, pendapat L.C.R. Breemen, yang menafsirkan dongeng tentang pertarungan ikan sura dan buaya sebagai lambang “pertarungan abadi” antara laut dan daratan:
….. Zij kan namelijk slaan op den voortdurenden strijd tusschen het water en het land, wordende de dieren als de gebieders op den voorgrond gesteld, in welken strijd te Soerabaja het land inderdaad het water terugdrijft (aanslibbingen aan de mondingen onzer rivieren). De vloed is dan het overschrijden van zijn gebeid door den haai, terwijl de eb weergeeft de terugkomst van den krokodil van zijn strooptocht bovenstrooms; de eb drijft dan het water terug.
Merkwaardig is, dat het word “soero” in zoovele samenstellingen voorkomt. “Soero” moet met haai niets te maken heben in die samenstellingen, al noemt men een haai ook “soero”. De beteekenis is: dapper, strijdvaardig, of moedig.
Met “bojo” heft men een dergelijk geval. Het beteekent: strijd, strijder, held, dapper. Volgens de beteekenissen hierboven weergegeven, beduidt: “Soerowesti”, Dappere Ratu; “Soero – Pringgo”, Dappere Held; “Soero – ing – bojo”, Dappere Strijder.
Daar de “soero”, een dapper dier, op onze reede veel voorkwam en de bevolking hem dus kent, terwijl hetzelfde gezegd kan worden van den “bojo…, lijkt het niet onwaarshijnlijk, dat men voor de legende een, wellicht inderdaad tusschen die beide dieren gevoerd gevecht heft gekozen voor den symbolischen, eeuwigdurenden strijd tusschen land en water, omdat de voorstelling belangwekkender, dus niet zoo spoedig vergeten zou worden. De “soero” en de “bojo” bleken en wat hun hoedanigheden en wat hun namen betreft, geknipt voor de legende. 


( ….. Dongeng itu (pertarungan ikan sura dan buaya) dapat mengungkapkan suatu lambang tentang “pertarungan abadi” antara laut dan daratan dengan menampilkan binatang sebagai penguasa kedua wilayah masing-masing, yang di Surabaya memang ditandai dengan mundurnya (garis pantai) laut oleh endapan pasir dan lumpur di muara sungai-sungai kita. Laut pasang naik diibaratkan pelanggaran terhadap wilayah daratan oleh ikan hiu, sedang laut pasang surut mengiaskan direbutnya kembali wilayah tersebut oleh sang buaya.

Menarik sekali ialah, bahwa “sura” sering kita temukan dalam kata-kata gabungan. Dalam kata-kata gabungan itu tentu “sura” tidak ada hubungannya dengan ikan hiu, meskipun ikan hiu dinamakan juga “ikan sura”. Di sini “sura” berarti: gagah berani, pandai berkelahi, ganas. Dengan “baya” demikian pula halnya. Berarti: pertarungan, pejuang, pahlawan, pemberani. Menurut pengertian-pengertian tersebut di atas, maka “sura-westhi” berarti Ratu Pemberani; “sura-pringga” Pahlawan Pemberani; “sura-ing-baya” Pejuang Pemberani.
Karena (ikan) “sura”, seekor binatang yang pemberani, banyak terdapat di lautan kita, jadi sangat dikenal oleh penduduk, sedang demikian pula dapat dikatakan tentang “baya” (buaya), maka pada hemat saya bukan mustahil orang telah memilih dongeng pertarungan kedua binatang tersebut sebagai lambang pertarungan abadi antara daratan dan lautan, karena gambaran tersebut lebih menarik dan dengan demikian tidak mudah dilupakan. Baik sifat maupun nama mereka, ternyata “sura” dan “baya” cocok sekali untuk dongeng (legenda) tersebut).

Menanggapi dua pendapat tersebut, saya mendukung sepenuhnya pendapat Sugerman itu, tetapi justru karena demikian saya sekaligus juga meolak anggapannya, bahwa dongeng adalah suatu omong kosong yang tidak ada artinya, yang mengandung penertian statis, yang melemahkan, bahkan mematikan semangat kepahlawanan karena tidak memberikan pendidikan kepatriotikan bangsa yang revolusioner, dan sebagainya. Saya cenderung menguatkan pendapat, bahwa dongeng adalah manifestasi kebudayaan Indonesia, falsafah sastra dan bahasa Indonesia, khususnya Jawa. Dongeng Jawa terutama mempunyai kedudukan dan sifat yang khas, yang berbeda sama sekali dengan “sprookjes” atau “fairy tales”di negara-negara barat. Kalau “sprookjes” atau “fairy tales” diciptakan khusus bagi anak kecil, dengan diserasikan terhadap jiwa dan dunia anak-anak, sebaliknya dongeng Jawa berupa “prasemon”, berisikan falsafah, mengandung hikmah dan tamsil ibarat yang tinggi dan dalam, mempunyai maksud-maksud tertentu yang disembunyikan (sinandi).

Jadi dengan demikian, dongeng Jawa sebenarnya bukan lagi suatu konsumsi khusus bagi anak-anak melulu, sekalipun digubah dalam bentuk yang kadang-kadang naïf sekali. Inilah kearifan moyang kita dulu, yang menciptakan dongeng-dongeng itu tanpa batasan umur bagi yang membaca atau mendengarnya. Dan moyang kita itu juga bukan orang asing. Mereka adalah bagian dari masyarakat bangsa kita yang umumnya mistis-filosofis, suka kepada lambang-lambang dan prasemon-prasemon. Oleh karena itu dalam tuangan karya ciptaan mereka, mereka tidak dapat berbuat lain daripada memanifestasikan watak dan alam pikiran masyarakat bangsanya.

Dalam hal ini agaknya Breemen, juga Von Faber, cukup menyadari, dan karenanya lebih cermat menyelami watak dan alam pikiran bangsa kita, dan menganggap bahwa dongeng sama sekali bukan sesuatu yang naïf, yang statis, yang tidak mengandung pendidikan moral, mental, semangat, ya, pendek kata bukan hanya omong kosong belaka.
Pertarungan ikan sura dan buaya memang adalah sebuah dongeng, sebuah legenda, fabel, atau mitos, atau apa pun namanya, tetapi oleh Breemen ditelaah dan dikaji landasan riil dan sejarah yang melatarbelakanginya, digali dan dicari yang tersirat dan hubungannya dengan kota Surabaya.

Tetapi perbedaan pokok antara dongeng Sura-Baya hasil kajian Breemen dan mitos Çūrabhaya dalam karangan ini ialah, bahwa Breemen menganggap dongeng Sura-Baya sebagai simbolisasi kota Surabaya, atau tepatnya proses pasang surut air laut di muara sungai-sungai di Surabaya, sedang karangan ini sebaliknya mencari asal mula terjadinya kota Surabaya, yang motivasinya bersumber dari mitos ikan hiu dan buaya. Dengan menemukan motivasi itu diharapkan pula akan menemukan ancar-ancar data kapan terjadinya kota Surabaya


Sumber:
• Soenarto Timoer, Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia Mitos Çūrabhaya Cerita Rakyat Sebagai Sumber Penelitian Sejarah Surabaya, Jakarta:PN. Balai Pustaka. Hal.13 -21. 

Asal Usul Kota Cianjur

Asal Usul Kota Cianjur

ASAL USUL KOTA CIANJUR
Di sebuah desa di Jawa Barat, hiduplah seorang saudagar yang memiliki hampir seluruh sawah di daerah itu. Namun, ia terkenal sangat pelit. Orang-orang menyebutnya Pak Kikir. Pak Kikir mempunyai seorang anak laki-laki yang dermawan dan baik hati. Secara sembunyi-sembunyi, ia suka menolong warga yang kesusahan.
Pada suatu ketika, Pak Kikir merasa harus mengadakan selamatan. Menurut kepercayaan masyarakat, kalau acara selamatan dilakukan dengan baik, hasil panen akan baik pula. Pak Kikir tak ingin panennya gagal. Oleh karena itu, ia mengadakan selamatan dan mengundang seluruh warga. .
Namun, Pak Kikir tidak menyediakan makan yang cukup bagi tamu yang sebagian besar warga tak mampu. Banyak tamu yang tidak kebagian makanan. .
Lalu, datanglah seorang nenek pengemis. Ia meminta sedikit nasi untuk mengisi perutnya yang lapar. Namun, si nenek malah dibentak oleh Pak Kikir. Nenek itu sangat sedih. Ia pun meninggalkan rumah Pak Kikir. .
Anak Pak Kikir yang melihat kejadian itu langsung mengambil jatah makannya dan mengejar nenek itu. “Ambilah makanan ini supaya nenek tidak lapar lagi,” kata pemuda baik hati itu. “Terima kasih, Nak, atas kebaikanmu. Kelak, kau akan mendapatkan kebaikan dan keselamatan karena sifatmu,” kata si nenek. .
Nenek itu masih sakit hati pada Pak Kikir. Lalu, pergilah ia ke puncak bukit. Dari puncak bukit itu, tampaklah rumah Pak Kikir paling besar dan paling megah di antara rumah warga sekitarnya. .

Nenek itu berucap lantang. “Ingatlah, Pak Kikir. Ketamakanmu akan menenggelamkan dirimu dan Tuhan akan membalas perbuatanmu!” .
Si Nenek menancapkan tongkatnya ke tanah, lalu mencabutnya lagi. Dari bekas tancapan tongkat itu, mengalirlah air yang semakin lama semakin deras menuju ke desa. “Banjir! Banjir!” Para penduduk berteriak panik melihat air yang mengalir semakin deras menuju desa mereka. Mereka berlarian menyelematkan keluarga mereka. .

Anak Pak Kikir pun segera memperingati semua penduduk agar mencari tempat aman. Ia juga mengajak ayahnya untuk meninggalkan rumah. .
“Apa? Meninggalkan rumah ini? Tidak! Aku harus menyelamatkan harta yang kusimpan di bawah tanah!” seru Pak Kikir. Ia pun berlari ke ruang bawah tanah di rumahnya. .
Air semakin deras. Karena tak ada waktu lagi untuk menunggu ayahnya, anak Pak Kikir pun berlari menyelamatkan diri ke atas bukit. Air bah itu pun segera menenggelamkan seluruh desa. .
Anak Pak Kikir dan sebagian penduduk selamat. Pak Kikir tenggelam bersama rumah dan harta bendanya. Para penduduk sangat sedih melihat desa yang tenggelam. Mereka memutuskan mencari daerah baru untuk tempat tinggal. Anak Pak Kikir diangkat sebagai pimpinan. .
Di daerah yang baru, anak Pak Kikir menganjurkan penduduk mengolah tanah, bagaimana mengairi sawah, dan menanam padi yang baik. .

Desa baru itu lalu diberi nama Anjuran karena penduduk selalu mematuhi anjuran pemimpin mereka. Lama-kelamaan, desa itu berkembang menjadi sebuah kota kecil bernama Cianjur. Ci artinya air. Menurut cerita, Cianjur berarti anjuran untuk mengairi dan mebuat irigasi yang baik. Hingga sekarang, Cianjur terkenal dengan hasil berasnya yang enak.

Sumber: .
Marina Asril Reza, 2011, 108 Cerita Rakyat Terbaik Asli Nusantara (Cerita Kepahlawanan, Mitos, Legenda, Dongeng, & Fabel dari 33 Provinsi), Jakarta: Visimedia 

ASAL MULA KOTA BALIKPAPAN

Asal Mula Kota Balikpapan

ASAL MULA KOTA BALIKPAPAN
Menurut cerita rakyat yang berkembang di Kalimantan Timur, konon di Tanah Pasir sudah berlangsung sistem pemerintahan kerajaan yang teratur. Rakyat hidup berkecukupan. Kekuasaan raja sangat luas. Daerah kekuasaannya sampai ke bagian selatan. Daerah itu berupa sebuah teluk yang sangat indah. Selain indah, daerah teluk itu juga makmur karena mengandung hasil bumi dan hasil laut yang berlimpah-limpah.

Kemakmuran daerah sepanjang teluk itu sangat dirasakan oleh masyarakat yang bermukim di tempat itu. Sebagian dari penduduk itu bermata pencaharian sebagai petani. Sebagian lagi bermata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat yang bermukin di daerah itu hidup dalam suasana damai, tenang, dan makmur. Semua anggota masyarakat hidup rukun. Mereka saling menolong satu sama lain. Pendek kata, masyarakat di sepanjang teluk itu hidup dengan nyaman.

Kenyamanan hidup masyarakat di daerah teluk ini juga didukung oleh sikap bijaksana sultan yang memerintah pada saat itu. Sultan Aji Muhammad, demikianlah nama sultan yang berkuasa saat itu. Nama sang sultan memang melambangkan kebesaran serta kesucian pemiliknya.
Sultan Aji Muhammad mempunyai seorang putri. Namanya Aji Tatin. Sultan Aji Muhammad sangat menyayangi Aji Tatin. Beliau sangat bangga akan putrinya itu. Aji Tatin seorang putri yang berwajah cantik jelita.

Tahun berganti tahun, masa pun segera berlalu. Aji Tatin putri Sultan Aji Muhammad pun tumbuh dewasa. Tiba saatnya Aji Tatin menikah. Maka, ayahandanya, Sultan Aji Muhammad, menikahkan putranya itu dengan seorang bangsawan. Putri Aji Tatin menikah dengan Raja Kutai.

Pesta pernikahan Aji Tatin dan Raja Kutai berlangsung dengan sangat meriah. Semua rakyat Sultan Aji Muhammad ikut menikmatinya. Mereka juga merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan keluarga kerajaan.

Setelah pesta pernikahan usai, Putri Aji Tatin menghadap Sultan Aji Muhammad, ayahandanya.
“Ayahanda, izinkan putrimu mengutarakan satu permintaan kepada Ayah,” demikian kalimat pertama yang diucapkan Aji Tatin saat menghadap ayahnya.

“Permohonan apakah yang Ananda inginkan dari ayahanda?” tanya Sultan Aji Muhammad kepada putrinya itu.

“Ayah, berkenanlah memberikan warisan kepada ananda demi masa depan ananda kelak,” demikian permohonan Aji Tatin kepada ayahnya.

Mula-mula ayahnya terkejut dengan permintaan putrinya itu. Namun, dengan senang hati Sultan Aji Muhammad pun mengabulkan permohonan putrinya itu.
“Anakku, ayah akan memberikan daerah teluk itu untukmu. Kuasailah daerah itu! Buatlah rakyat semakin makmur dan sejahtera. Niscaya, mereka akan selalu mengabdi kepadamu,” demikian pesan Sultan Aji Muhammad kepada anaknya itu.

“Terima kasih, Ayah. Putrimu pasti akan selalu menuruti nasihat Ayah. Saya akan membuat rakyat semakin makmur dan sejahtera.” 

Sultan Aji Muhammad lega mendengar kata-kata putrinya itu. Maka, sejak saat itu daerah teluk yang subur, makmur, dan sejahtera itu menjadi wilayah kekuasaan Aji Tatin.

Namun, agaknya pesan Sultan Aji Muhammad tidak diindahkan oleh putrinya itu. Putri Aji tatin pun meminta rakyatnya membayar upeti kepadanya. Mau tidak mau rakyat di sepanjang teluk yang dikuasai Putri Aji Tatin pun memenuhi permintaan pemimpinnya itu.

Pada suatu ketika Putri Aji Tatin meminta rakyatnya memberi upeti kepadanya berupa papan. Rakyat pun menyediakan upeti papan untuk Putri Aji Tatin.

Tibalah saat meminta upeti itu kepada rakyat. Orang-orang kepercayaan Putri Aji Tatin pun mendatangi rakyat di teluk daerah kekuasaan junjungannya itu. Dengan dipimpin oleh Panglima Sendong, mereka menuju teluk itu dengan perahu. Mereka menggunakan tanggar atau galah yang disebut tokong untuk mendayung perahu.

Satu per satu mereka mengumpulkan papan upeti rakyat. Papan-papan itu kemudian dibawa ke pantai dan dinaikkan ke dalam perahu. Setelah semua papan terangkut, perlahan-lahan mereka mendayung perahu meninggalkan teluk itu. Namun, malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Di tengah perjalanan perahu yang memuat papan upeti rakyat itu diterjang angin topan.

Tiba-tiba saja angin topan yang dahsyat datang menerjang perahu Aji Tatin. Tak pelak lagi perahu itu pun terbalik dan penumpangnya jatuh ke air. Dengan perlahan-lahan, para penumpang, yaitu Panglima Sendong dan anak buahnya, berusaha membawa perahu yang sarat muatan itu ke pantai.

“Ayo, kita bawa perahu ini ke pantai!” teriak Panglima Sendong mengajak anak buahnya mendorong perahu ke pantai.
“Ya, ayo! Kita dorong bersama-sama!” teriak salah seorang anak buahnya. Dengan segala tenaga, mereka pun berusaha mendorong perahu itu merapat ke pantai. Akan tetapi, mereka tidak berdaya. Perahu sangat berat. Muatan papan dalam perahu itu semakin menambah berat perahu. Angin topan yang begitu dahsyat dan gelombang ganas pun menggagalkan usaha mereka untuk merapatkan perahu itu.

Dengan tiba-tiba perahu itu pun terhempas ke sebuah pulau karang. Perahu yang sarat muatan berupa papan itu pun karam. Tokong atau galah pendayung juga karam. Panglima Sendong, pemimpin anak buah Putri Aji Tatin, beserta anak buahnya pun meninggal.

Peristiwa karamnya perahu yang membawa papan itu kemudian digunakan untuk menamai kota Balikpapan. Balikpapan maksudnya papan yang terbalik karena diterpa badai atau topan yang maha dahsyat.

Sementara itu pulau karang yang menyebabkan peristiwa terbalinya perahu itu makin besar. Pulau karang itu lama-kelamaan menjadi sebuah pulau yang ditumbuhi pohon-pohonan. Sampai sekarang pulau itu dinamai Pulau Tukung.

Sumber:
M.G. Hesti Puji Rastuti, 2007, Kumpulan Cerita Rakyat, Yogyakarta: Citra Aji Parama